Hukum Hutang Piutang Ribawi BPR(Bank Pengkreditan Rakyat)
Diskripsi masalah
Bigrospace.com - Akhir-akhir ini banyak sekali ditemukan
praktek peminjaman uang bagi orang-orang yang membutuhkan, namun dalam
prakteknya di lapangan sistem perekonomian yang dipakai dalam praktek
peminjaman di atas mengandung mu’amalah (interaksi) yang mengarah pada indikasi
ribawy yang diharamkan, seperti BPR (Bank Perkreditan Rakyat) KSP (Koperasi
Simpan Pinjam) dan lain sebagainya.
Pertanyaan:
a. Bolehkah masyarakat umum meminjam uang
di tempat itu?
b. Apakah ada yang memperbolehkan transaksi
semacam itu?
c. Bagaimana hukum melegalkan tempat dan
transaksi tersebut?
Jawaban 2 a:
Ditafsil.
Haram apabila
adanya unsur pemberian manfa’at kepada orang yang meminjamkan disyaratkan
(disebutkan) di dalam aqad atau sesudahnya namun aqad tersebut belum luzum
(mengikat).
Boleh apabila
adanya unsur pemberian manfa’at kepada orang yang meminjamkan tidak disyaratkan
(disebutkan) di dalam aqad.
Boleh apabila dalam
keadaan dlarurat.
إعانة الطالبين ج 3 ص 53
وجاز لمقرض نفع يصل له من مقترض كرد الزائد
قدرا أو صفة والأجود فى الردىء بلا شرط فى العقد بل يسن ذلك لمقترض لقوله
e إن خياركم أحسنكم قضاء ولا يكره للمقرض أخذه كقبول هديته ولو فى الربوى
والأوجه أن المقرض يملك الزائد لفظ لأنه وقع تبعا وأيضا فهو يشبه الهدية وأن
المقترض إذا دفع أكثر مما عليه وادعى أنه إنما دفع ذلك ظنا أنه الذى عليه حلف ورجع
فيه. وأما القرض بشرط جر نفع لمقرض ففاسد لخبر كل قرض جر منفعة فهو ربا وجبر ضعفه
مجىء معناه عن جمع من الصحابة. ومنه القرض لمن يستأجر ملكه أى مثلا بأكثر قيمته
لأجل القرض إن وقع ذلك شرطا إذ هو حينئذ حرام إجماعا وإلا كره عندنا وحرام عند
كثير من العلماء قاله السبكى.
“Dan diperbolehkan
bagi pihak yang memberi hutang (muqridl) untuk mendapatkan sesuatu yang lebih
(manfaat) dari pihak yang berhutang (muqtaridl) seperti membayar hutang dengan
nilai yang lebih baik secara kwantitas atau kwalitasnya, (seperti) berhutang
sesuatu yang jelek dibayar dengan yang lebih bagus, dengan tanpa syarat
(penyebutan) pada saat akad pinjaman. Bahkan berbuat seperti itu disunnahkan
bagi pihak yang berhutang, karena sabda Rasulullah SAW artinya “Sesungguhnya
orang yang terbaik di antara kalian adalah yang paling bagus cara membayarnya”.
Dan tidak dimakruhkan bagi pihak yang memberi hutang untuk mengambilnya
sebagaimana menerima hadiah dari pihak yang berhutang, meskipun dalam transaksi
ribawi. Menurut pendapat yang lebih kuat, tambahan dari hutang tersebut menjadi
hak milik bagi pihak yang memberi hutang tanpa adanya penjelasan, sebab hal
tersebut diikutsertakan dalam pengembalian hutang, juga sama seperti hadiah
(masih menurut pendapat yang kuat), bahwa apabila pihak yang berhutang membayar
hutang lebih banyak dari hutang yang berada dalam tanggungannya, dan dia mngaku
bahwa, ia melakukannya karena (ia semula) mengira jumlah hutangnya sebanyak
itu, maka ia disumpah dan dikonfirmasikan. Adapun transaksi hutang piutang yang
disyaratkan dengan pengambilan keuntungan bagi pihak yang memberi hutang, maka
akad terebut batal. Kalau berdasarkan hadits yang artinya “Setiap hutang
piutang yang mengambil keuntungan adalah riba”. (hadits ini pada dasarnya
adalah dla’if tetapi kedla’ifan hadits ini ditopang oleh hadits lainnya yang
sama yang diriwayatkan dari sekelompok para sahabat sehingga hadits ini bisa
dijadikan hujjah karena telah naik ke tingkat hadits hasan)”.
“Di antara riba
qardl adalah, hutang piutang bagi sesorang yang akan menyewakan (semisal tanah)
miliknya dengan harga yang lebih tinggi, dengan catatan apabila transaksi
tersebut disebutkan dalam akad, sebab apabila hal tersebut terjadi dalam akad,
maka hukumnya adalah haram, sesuai konsensus (ijma’) para ulama. Tetapi apabila
tidak disebutkan dalam akad, maka menurut Madzhab Syafi’iyyah adalah makruh, dan
haram menurut ulama yang lain. Pendapat ini disampaikan oleh Imam Subki”.
التحفة - (ج 17 / ص 61) (أحكام الفقهاء ص
245)
وَالْحَاصِلُ أَنَّ كُلَّ شَرْطٍ مَنَافٍ
لِمُقْتَضَى الْعَقْدِ إنَّمَا يُبْطِلُ إنْ وَقَعَ فِي صُلْبِ الْعَقْدِ أَوْ
بَعْدَهُ وَقَبْلَ لُزُومِهِ لَا إنْ تَقَدَّمَ عَلَيْهِ وَلَوْ فِي مَجْلِسِهِ
كَمَا يَأْتِي
“Kesimpulannya
adalah, setiap syarat yang meniadakan subtansi (tuntutan) dari sebuah akad
hanya bisa batal apabila terjadi di dalam akad, atau sesudah akad tetapi belum
terealisir secara pasti, bukan ketika sebelum akad meskipun terdapat di tempat
akad tersebut”.
الحلال والحرام فى الإسلام ص 243-244
وإذا كانت هناك ضرورة ملحة اقتضت معطى
الفائدة أن يلجأ إلى هذا الأمر فإن الإثم فى هذه الحال يكون على أخذ الربا
(الفائدة) وحده: وهذا بشرط أن تكون هناك ضرورة حقيقة لا مجرد توسع فى الحاجيات أو
الكماليات فالضرورة ما لا يمكنه الإستفناء عنه إلا إذا تعرض للهلاك كاقوت والملبس
الواقى وإعلاج الذى لا بد منه
“Jika ditemukan
kondisi yang sangat dlarurat, yang menuntut pemberi bunga untuk menyerahkannya,
maka dalam kondisi seperti ini, dosanya mengarah kepada pengambil bunga (riba)
tersebut. Hal ini disyaratkan adanya kondisi dlarurat yang sebenarnya, bukan
hanya karena mencari keleluasaan untuk memenuhi kebutuhan primer (hajiayt) dan
skundernya (kamaliat) saja. Dengan demikian, dlarurat adalah sesuatu yang tidak
mengkin ditinggalkan, kecuali apabila mengarah pada kematian seperti sandang,
pangan dan obat-obatan”.
الأشباه والنظائر ج 1 ص 96
الْعَادَةُ الْمُطَّرِدَةُ فِي نَاحِيَةٍ ،
هَلْ تُنَزَّلُ عَادَتُهُمْ مَنْزِلَةَ الشَّرْطِ ، فِيهِ صُوَرٌ . . . وَمِنْهَا
: لَوْ جَرَتْ عَادَةُ الْمُقْتَرِضِ بِرَدِّ أَزْيَدَ مِمَّا اقْتَرَضَ ، فَهَلْ
يُنَزَّلُ مَنْزِلَةَ الشَّرْطِ ، فَيَحْرُمُ إقْرَاضُهُ وَجْهَانِ ، أَصَحُّهُمَا
: لَا .
“Tradisi yang
berlaku di suatu daerah tertentu, apakah dapat diletakkan pada posisi syarat?.
Kaidah ini memiliki beberapa bentuk contoh, di antaranya: apabila telah berlaku
kebiasaan pihak yang berhutang untuk membayar hutangnya dengan sesuatu yang
melebihi tanggungan hutangnya, apakah dapat diposisikan sebagai syarat,
(sehingga) haram melakukan hutang piutang tersebut?. Untuk dua masalah ini ada
dua jawaban dan yang lebih sahih adalah tidak (diposisikan sebagai syarat)”